Kamis, 21 Februari 2013

Panen Raya bersama Bp Bupati Ngawi tahun 2013

Pengendalian OPT Agens Hayati
 PPAH Bumi Lestari Ngawi

          Konsep pertanian berbasis ramah lingkungan terus digalakkan oleh pemerentah dalam rangka meningkatkan hasil pertanian yang sehat dan mengurangi ketergantungan penggunaan bahan kimia. Dijawa timur pengembangan agens hayati dibina langsung oleh Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Holtikultura Jawa Timur, dan membentuk PPAH ( Pusat Pelayanan Agens Hayati ) ditiap kecamatan. Dengan adanya PPAH diharapkan ikut mensukseskan program pemerentah dengan konsep pertanian berbasis ramah lingkungan. Dikabupaten ngawi penggunaan agens hayati telah memberikan dampak positip yang besar dibidang pertanian dan mampu mengendalikan Organisme Pengganggu Tanaman dan tentunya mampu menekan biaya produksi serendah rendahnya. Berlokasi didesa Geneng, Kecamatan Geneng, Kab Ngawi PPAH Bumi Lestari ngawi bersama kelompok tani Margo Lestari geneng, melakukan uji tanam dengan Varietas Padi IPB S.4  dengan penggunaan agens hayati Verticilium,sp dan Corinebakterium, sp berhasil mengatasi OPT tanpa penggunaan pestisida kimia dan terbukti ampuh.
              Bersama Bapak Bupati Ngawi ir. Budi Sulistyano & Wakil Bupati Bp Ony Anwar, ST dan seluruh jajaran dinas Pertanian jawa timur melakukan panen raya di desa geneng, Kec Geneng Kab. Ngawi. Dalam acara tersebut Bapak bupati secara simbolis menyerahkan bantuan mesin perotok padi Combine Harvester bantuan dari kementrian pertanian kepada Gabungan Kelompok tani (Gapoktan) sejumlah 10 Unit. Dalam sambutannya bapak bupati menyampaikan bahwa penggunaan mesin perontok padi ini bisa dimanfaatkan sebaik - baiknya bagi petani dan jangan sampai terjadi kesenjangan sosial karena penggunaannya tentunya akan berdampak pengagguran bagi buruh tani semakin besar dan bisa dicari solusi yang tepat, petani juga harus banyak bertanya kepada petugas penyuluh pertanian agar pola berfikir selalu berkembang terus dan tidak ketinggalan.

Bapak Bupati Ngawi ir. Budi Sulistyono 

 Sambutan Bapak Bupati Ngawi

Pengendalian OPT AGENS HAYATI
Kelompok Tani          : Margo Lestari
Lokasi                      : Ds Geneng, Kec Geneng
Varietas                    : I.P.B S.4
Luas                         : 1 Hektar
Tanggal Tanam          : 16 November 2012
Agens Hayati            : Corinebacterium, sp
                                  Verticilium, sp
Aplikasi                    : 3 MST, 5 MST, 8 MST
PPAH                       :  BUMI LESTARI NGAWI

Rabu, 13 Februari 2013

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL (SPO) PADI ORGANIK

STANDAR PERTANIAN ORGANIK INDONESIA


Bab 1.
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sejak diluncurkannya Program “Go Organic 2010” oleh Departemen Pertanian pada tahun 2001, pertanian organik telah menjadi sebuah alternatif kegiatan penyediaan pangan. Saat ini pertanian organik telah berkembang secara luas di masyarakat. Perkembangan itu meliputi budidaya tanaman secara organik, kegiatan pengomposan, kegiatan pembuatan pestisida nabati, perdagangan pangan organik segar, pengolahan pangan organik hingga penyajian menu-menu pangan organik di rumah makan. Perkembangan yang pesat ini tidak lepas dari semakin sadarnya pelaku usaha pertanian akan kelestarian sumberdaya alam pertanian dan upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkannya. Di sisi lain, konsumen juga mulai sadar bahwa pangan yang dikonsumsi harus memenuhi kriteria aman dan menyehatkan. Kesadaran kedua belah pihak, yaitu pelaku usaha dan konsumen, mendorong perkembangan pertanian organik yang secara konseptual dan praktis memenuhi kaidah-kaidah ramah lingkungan, pengendalian ekosistem dan sumberdaya alam serta mampu menghasilkan produk-produk yang lebih aman dan sehat. Komoditas padi/beras merupakan komoditas yang sejak awal diluncurkannya “Go Organik 2010” telah secara luas diaplikasikan dalam kegiatan pertanian organik. Saat ini hampir di setiap daerah penghasil beras di Indonesia telah ada usaha pertanian padi/beras organik. Untuk menghasilkan padi/beras organik diperlukan kegiatan-kegiatan yang secara konsisten mengikuti kaidah-kaidah dalam pertanian organik. Secara praktis, diperlukan suatu standar operasional bagi pelaku usaha padi/beras organik untuk melaksanakan kegiatannya agar tetap memenuhi kaidah pertanian organik.

B. Maksud dan Tujuan
Pedoman Penyusunan Standar Prosedur Operasional (SPO) Padi/Beras Organik ditujukan untuk memberikan batasan atau sebuah standar bagi pelaksana pertanian di daerah untuk membuat Standar Prosedur Operasional (SPO) Padi/Beras Organik yang sesuai dengan prinsip pertanian organik dan karakter wilayah setempat.

C. Isi Pedoman
Pedoman ini meliputi proses produksi, pengolahan dan pemasaran serta sertifikasi padi/beras organik yang merupakan suatu kesatuan sistem produksi padi/beras organik. Pedoman Penyusunan Standar Prosedur Operasional (SPO) Padi/Beras Organik mengacu pada cara-cara operasional terbaik yang dapat dilakukan oleh pelaku produksi padi/beras organik sesuai dengan SNI 01-6729-2002 Sistem Pangan Organik.


Bab 2.
Pertanian Organik
Pertanian organik adalah sistem manajeman produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agro-ekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah. Tujuan dari pertanian organik adalah memelihara ekosistem untuk mencapai produktivitas yang berkelanjutan. Pertanian organik merupakan salah satu cara pertanian yang holistik disamping bertujuan untuk menghasilkan produk yang tinggi dan berkualitas. Tujuan yang penting lainnya adalah konservasi dan memberdayakan sumberdaya alam tanah yang subur, air yang bersih dan keanekaragaman hayati yang tinggi. Seni dari pertanian organik adalah menjadikan pengelolaan yang terbaik dari prinsip-prinsip dan proses ekologi yang berjalan. Petani organik dapat mempelajari interaksi-interaksi dalam ekosistem alami untuk diterapkan dalam sistem pertanian organik yang diusahakan. Pertanian organik menekankan penggunaan praktek manajeman yang lebih mengutamakan penggunaan masukan setempat, dengan kesadaran bahwa keadaan regional setempat memang memerlukan adaptasi lokal. Hal ini karena setiap wilayah memiliki karakteristik budaya, ekosistem dan agroekologi yang khas. Kekhasan ini juga pada akhirnya akan mempengaruhi jenis komoditas yang akan diusahakan dalam sistem pertanian organik. Suatu sistem produksi pertanian organik dirancang untuk: mengembangkan keanekaragaman hayati dalam sistem secara keseluruhan; meningkatkan aktivitas biologi tanah; menjaga kesuburan tanah dalam jangka panjang; dan mendaur ulang limbah yang berasal dari hewan dan tumbuhan sebagai nutrisi/hara bagi tanah; Pertanian organik didasarkan pada penggunaan masukan eksternal yang minimum, menghindari penggunaan pupuk dan pestisida sintetik, pendaurulangan unsur hara di dalam lahan organik, perlindungan tanah pada lahan organik, keragaman tanaman pada lahan organik, dan kontrol hayati (bio-control) pada lahan organik. Dengan demikian, tujuan utama pertanian organik: mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas komunitas interdependen dari kehidupan di tanah, tumbuhan, hewan dan manusia. Berkaitan dengan bahan rekayasa genetik, pertanian organik melarang seluruh bahan dan/atau produk yang dihasilkan dengan rekayasa genetika/modifikasi genetik (GEO, Genetic Engineering Organism; GMO, Genetically Modified Organism) karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip produksi pangan organik baik pada tahap budidaya, pasca panen dan pengolahan hasil. Untuk itu, benih padi yang akan digunakan harus berasal dari tumbuhan yang ditumbuhkan dengan cara-cara pertanian organik paling sedikit satu generasi atau dua musim umtuk tanaman semusim. Bila benih tersebut tidak tersedia maka dapat digunakan benih yang memenuhi syarat berikut:
(a). pada tahap awal dapat dipergunakan benih tanpa perlakuan, atau
(b). bila (a) tidak tersedia, dapat digunakan benih yang sudah mendapat perlakuan non organik.
Untuk memelihara dan meningkatkan kesuburan dan aktivitas biologi tanah pada lahan organik, petani dapat  menerapkan cara-cara sebagai berikut:
a). Melakukan penanaman tanaman kacang-kacangan (leguminoceae), pupuk hijau atau tanaman berperakaran dalam melalui program rotasi tahunan yang sesuai.
b). Melakukan pencampuran bahan organik ke dalam tanah berupa kompos yang telah matang (fine compost).
c). Menggunakan bahan-bahan biodinamik dari stone meal, kotoran hewan atau tanaman.
Pada budidaya padi organik, hama, penyakit dan gulma harus dikendalikan untuk menekan kerusakan dan kehilangan hasil. Cara-cara yang dapat digunakan adalah:
(a). Pemilihan spesies dan varietas yang sesuai;
(b). Program rotasi yang sesuai;
(c). Pengolahan tanah secara mekanis;
(d). Perlindungan musuh alami hama melalui penyediaan abitat yang cocok seperti pembuatan pagar hidup dan tempat sarang, zona penyangga ekologi yang menjaga vegetasi asli dari hama predator setempat;
(e). Flame-weeding;
(f). Pemberian musuh alami termasuk pelepasan predator dan parasit;
(g). Penyiapan biodinamik dari stone meal, kotoran ternak atau tanaman;
(h). Pengendalian mekanis seperti penggunaan perangkap, penghalang, cahaya dan suara.

Peralatan yang digunakan pada sistem produksi pangan organik diupayakan alat yang meminimalkan kontaminasi, kerusakan produk dan meningkatkan efisiensi produksi. Alat yang digunakan pada saat budidaya, pasca panen, pengolahan dan pemasaran produk pangan organik harus dibersihkan dahulu dengan menggunakan metode dan bahan yang diijinkan digunakan untuk sistem produksi pertanian organik. Bila alat yang akan digunakan tidak hanya digunakan untuk memproduksi pengan organik, maka harus dilakukan tindakan pengamanan, pengawasan dan pembersihan alat tersebut agar produk pangan organik tidak terkontaminasi dengan bahan-bahan yang dilarang digunakan dalam sistem produksi pangan organik. Sistem pengolahan produk organik harus dilakukan secara hati-hati untuk menjaga integritas organik dan mutu produk pada seluruh tahapan pengolahan, dan menggunakan bahan bahan yang diijinkan digunakan pada pengolahan pangan organik. Sertifikasi dan pelabelan pangan organik dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang terakreditasi, dan pencantuman labelnya disesuaikan dengan peraturan/ketentuan yang berlaku.


Bab 3.
Struktur Isi dan Uraian Pedoman Penyusunan
Standar Prosedur Operasional (SPO)
Padi/Beras Organik
Pedoman Penyusunan Standar Prosedur Operasional (SPO) Padi/Beras Organik disusun mengikuti sistematika produksi, pengolahan dan pemasaran serta sertifikasi padi/beras organik yang merupakan suatu kesatuan sistem produksi padi/beras organik. Pedoman Penyusunan Pedoman Penyusunan Standar Prosedur Operasional (SPO) Padi/Beras Organik mengacu pada cara-cara operasional terbaik yang dapat dilakukan oleh pelaku produksi padi/beras organik yang sesuai dengan SNI 01-6729-2002 tentang Sistem Pangan Organik.
Struktur isi Standar Prosedur Operasional (SPO) Padi/Beras Organik terdiri dari 8 Bab sebagai berikut:
■ Bab I. Pendahuluan
■ Bab II. Tujuan dan Manfaat SPO
■ Bab III. Prinsip Dasar Pertanian Organik
■ Bab IV. Budidaya Padi Organik
■ Bab V. Pasca Panen Padi Organik
■ Bab VI. Pemasaran Padi/Beras Organik
■ Bab VII. Sertifikasi
■ Bab VIII. Penutup

Uraian setiap Bab dari SPO Padi/Beras Organik adalah sebagai berikut:

Bab I. Pendahuluan
Bagian ini memuat kondisi wilayah, budaya petani, kondisi sumberdaya alam yang berkaitan erat dengan pertanian organik seperti: lahan, air, benih, pupuk organik dan pestisida nabati.

Bab II. Tujuan dan Manfaat SPO
Bagian ini berisi tentang tujuan dan manfaat dari SPO Padi/Beras Organik.
2.1. Tujuan
Bagian ini berisi tentang tujuan dibuatnya SPO Padi/Beras Organik. Tujuan dapat terdiri dari tujuan yang bersifat umum dan bersifat khusus
2.2. Manfaat
Bagian ini berisi tentang manfaat dibuatnya SPO Padi/Beras Organik. Manfaat yang diperoleh biasanya berkaitan dengan tujuan
Bab III. Prinsip Dasar Pertanian Organik
Bagian ini memuat prinsip-prinsip dasar pertanian organik dari awal hingga menjadi produk akhir
3.1. Prinsip dasar budidaya
Bagian ini memuat prinsip dasar budidaya pertanian organik
3.2. Prinsip dasar pascapanen
Bagian ini memuat prinsip dasar pascapanen pertanian organik
3.3. Prinsip dasar pengolahan
Bagian ini memuat prinsip dasar pengolahan pertanian organik


Bab IV. Budidaya Padi Organik
Bagian ini memuat prosedur budidaya padi organik yang dilakukan, terdiri dari pengadaan benih, pembibitan, penyiapan lahan, pengelolaan air, pengelolaan kesuburan lahan, pengendalian gulma, hama dan penyakit tanaman, hingga penentuan waktu, cara dan alat panen.
4.1. Pengadaan Benih
Bagian ini memuat penjelasan mengenai jenis dan jumlah benih, asal benih, prosedur dan waktu pengadaan benih yang dilakukan.
4.2. Pembibitan
Bagian ini memuat penjelasan cara, waktu dan lokasi pembibitan serta sarana yang digunakan dalam pembibitan.
4.3. Penyiapan Lahan
Bagian ini memuat cara, sarana dan waktu penyiapan lahan serta lokasi lahan yang digunakan.
4.4. Pengelolaan Air
Bagian ini memuat sumber air yang digunakan, cara dan sarana pengelolaan air serta waktu pelaksanaan kegiatan pengelolaan air yang dilakukan.
4.5. Pengelolaan Kesuburan Lahan
Bagian ini memuat jenis dan waktu kegiatan yang dilakukan, jenis dan jumlah pupuk yang digunakan, alat yang digunakan serta petugas pelaksana kegiatan.
4.6. Pengendalian Gulma, Hama dan Penyakit Tanaman
Bagian ini memuat jenis dan waktu kegiatan yang dilakukan, jenis dan jumlah bahan pengendalian gulma/hama/penyakit tanaman yang digunakan, alat yang digunakan serta petugas pelaksana kegiatan.
4.7. Waktu, Cara dan Alat Panen
Bagian ini memuat waktu, cara dan alat panen yang digunakan.

Bab V. Pasca Panen Padi Organik
Bagian ini memuat prosedur pasca panen padi organik yang terdiri dari pengumpulan, perontokan dan pembersihan, pengarungan, pengangkutan, pengeringan, penyimpanan hingga penggilingan.
5.1. Pengumpulan
Bagian ini memuat cara, alat, tempat, waktu dan pelaksana pengumpulan padi yang sudah dipanen.
5.2. Perontokan dan Pembersihan
Bagian ini memuat cara, alat, tempat, waktu dan pelaksana perontokan dan pembersihan padi yang sudah dipanen.
5.3. Pewadahan
Bagian ini memuat cara, alat, tempat, waktu dan pelaksana pewadahan padi hasil perontokan dan pembersihan.
5.4. Pengangkutan
Bagian ini memuat cara, alat, tempat, waktu dan pelaksana pengangkutan padi dari tempat pengumpulan ke lokasi tujuan.
5.5. Pengeringan
Bagian ini menguraikan cara, alat, tempat, waktu dan pelaksana pengeringan padi.
5.6. Penyimpanan
Bagian ini menguraikan cara, alat, tempat, waktu dan pelaksana penyimpanan padi yang sudah dikeringkan.
5.7. Penggilingan

Bagian ini menguraikan cara, jenis alat penggiling, tempat, waktu dan pelaksana penggilingan padi yang sudah dikeringkan.

Bab VI. Pemasaran Padi/Beras Organik
Bagian ini memuat prosedur pemasaran padi/beras organik yang terdiri dari pengemasan, penggudangan, pengangkutan, penyimpanan dan penempatan pada outlet pemasaran.
6.1. Pengemasan
Bagian ini memuat cara pengemasan, jenis dan ukuran kemasan yang digunakan serta pelaksana pengemasan.
6.2. Penggudangan
Bagian ini memuat cara, alat, tempat, waktu dan pelaksana penggudangan padi/beras yang sudah dikemas.
6.3. Pengangkutan
Bagian ini memuat cara, alat, tempat, waktu dan pelaksana pengangkutan padi/beras yang sudah dikemas ke tempat tujuan pemasaran.
6.4. Penyimpanan dan Penempatan pada Outlet Pemasaran
Bagian ini memuat cara, alat, tempat, waktu dan pelaksana penyimpanan dan penempatan padi/beras organik pada Outlet pemasaran.

Bab VII. Sertifikasi
Bagian ini memuat prosedur sertifikasi produk padi atau beras organik yang dihasilkan. Pelabelan produk organik juga dijelaskan pada bagian ini.

7.1. Sertifikasi
Bagian ini dibuat bila produk padi/beras telah di sertifikasi oleh lembaga sertifikasi yang terakreditasi. Pada bagian ini juga dimuat sejak kapan dilakukan sertifikasi, nomor registrasi, institusi lembaga sertifikasi dan masa berlaku sertifikat tersebut.
7.2. Pelabelan
Bagian ini memuat penjelasan mengenai produk-produk yang dilabel pangan prganik berdasarkan hasil sertifikasi..

Bab VIII. Penutup
Bagian ini memuat pernyataan penutup pada SPO
Lampiran 1.
Bahan Yang Diijinkan Digunakan Untuk Penyubur Tanah
1. Kotoran ternak1 Diperbolehkan. Bahan yang berasal dari “factory farming”2 tidak diijinkan untuk digunakan.
2.Cairan (slurry) atau urine ternak Diperbolehkan. Sebaiknya digunakan setelah difermentasi dan/atau pengenceran yang tepat. Bahan yang berasal dari factory farming tidak diijinkan.
3. Kompos dari kotoran ternak Diperbolehkan. Bahan yang berasal dari factory farming tidak diijinkan.
4.Guano Diperbolehkan.
5. Sisa-sisa tanaman, mulsa, pupuk hijau Diperbolehkan.
6. Kompss dari sisa industri jamur, humus dari vermikultur Diperbolehkan.
7. Kompos dari limbah organik rumah tangga Diperbolehkan.
8. Kompos dari residu tanaman ------
9. Limbah rumah potong hewan, industri perikanan dan pengolahan ikan Diperbolehkan.
10. Produk samping industri pangan dan tekstil Diperbolehkan. Dengan syarat tanpa ada perlakuan dengan bahan aditif sintetis.
11. Serbuk gergaji, tatal dan limbah kayu Diperbolehkan.
12. Abu kayu Diperbolehkan.
13. Batu fosfat alam Diperbolehkan. Asalkan cadmiumnya tidak lebih dari 90 mg/kg P2O5
14. Basic slag Diperbolehkan.
15. Batu kalium, garam kalium tambang (kainite, sylvinite) Diperbolehkan. Asal kurang dari 60% klorin.

1 Untuk kotoran yang dapat menyebabkan ketidakhalalan harus dinyatakan dalam syarat mutunya.
2 “Factory farming” adalah sistem industri peternakan yang sangat tergantung pada penggunaan input pangan dan obat-obatan yang tidak diijinkan dalam pertanian organik.


16. Sulfat kalium (patenkali) Diperbolehkan. Asalkan diperoleh dengan prosedur fisik tapi tidak diperkaya dengan proses komia untuk meningkatkan solubilitasnya.
17. Kalsium karbonat alami (kapur tulis, kapur batu) -----
18. Batuan magnesium-----
19. Batuan magnesium kalkareous -----
20.Garam epsom (magnesium sulfat) -----
21.Gipsum (kalsium sulfat) -----
22. Stillage dan stillage extract Diperbolehkan. Tidak termasuk ammonium stillage.
23. Natrium klorida Diperbolehkan. Hanya dari garam tambang.
24. Aluminium kalsium fosfat Diperbolehkan. Maksimum 90 mg/kg P2O5
25. Trace element (boron, tembaga, besi, mangan, molibdenum, seng) 90 mg/kg P2O5
26. Sulfur 90 mg/kg P2O5
27. Stone meal -----
28. Clay (bentonit, perlit, zeolit) -----
29. Organisme alami (cacing) -----
30. Vermiculite -----
31. Gambut Diperbolehkan. Tidak termasuk bahan aditif sintetis, diijinkan untuk benih, kompos dalam pot.
32. Humus dari cacing tanah dan serangga -----
33. Zeolit -----
34. Arang kayu -----
35. Chloride of lime (kapur klorida) Diperbolehkan.
36. Kotoran manusia Diperbolehkan. Sebaiknya diaerasi atau dikompos. Tidak diterapkan untuk tanaman yang langsung dikonsumsi manusia.
37. Hasil samping dari industri gula (vinasse) Diperbolehkan.

No Jenis Bahan Keterangan
38. Hasil samping dari industri pengolahan kelapa sawit, kelapa dan coklat (termasuk tandan kosong, lumpur sawit, cocoa peat, dan empty cocoa pods) Diperbolehkan.
39. Hasil samping industri pengolahan ingredien dari pertanian organik Diperbolehkan.

Sumber: SNI 01-6729-2002 tentang Sistem Pangan Organik.
Catatan:
----- tidak diatur oleh negara manapun


Lampiran 2.
Bahan yang Diijinkan Digunakan Untuk Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman

1. Pestisida jenis Pyrenthrins yang diekstrak dari Chrysanthenum cinerariaefolium, yang berisikan suatu sinergis Diperbolehkan.
2. Pestisida Rotenone dari Derris elliptica, lonchocarpus, thephrosia spp. Diperbolehkan.
3. Pestisida dari Quassia amara Diperbolehkan.
4. Pestisida dari Ryania speciosia Diperbolehkan.
5. Pestisida Neem (Azadirachtin) dari Azadirachta indica Diperbolehkan.
6. Propolis Diperbolehkan.
7. Minyak tumbuhan dan binatang -----
8. Rumput laut, tepung rumput laut/agar-agar, ekstrak rumput laut, garam laut dan air laut Diperbolehkan.
Tanpa perlakuan komia
9. Gelatin -----
10. Lecitin Diperbolehkan.
11. Casein -----
12. Asam alami (vinegar) Diperbolehkan.
13. Produk fermentasi dari Aspergillus -----
14. Ekstrak jamur (jamur shiitake) -----
15. Ekstrak Chlorella -----
16. Pestisida nabati (tidak termasuk tembakau) Diperbolehkan.
17. Teh tembakau (kecuali nikotin murni) Diperbolehkan.

II.
Mineral
1. Senyawa anorganik (campuran bordeaux, tembaga hidroksida, tembaga oksiklorida) Diperbolehkan.
2. Campuran burgundy Diperbolehkan.
3. Garam tembaga Diperbolehkan.
4. Belerang (sulfur) Diperbolehkan.
5. Bubuk mineral (stone meal, silikat) ----

6. Tanah yang kaya diatom (diatomaceous earth) Diperbolehkan.
7. Silikat, clay (bentonit) -----
8. Natrium silikat -----
9. Natrium bikarbonat -----
10 Kalium permanganat Diperbolehkan.
11 Minyak paraffin Diperbolehkan.

III.
Mikroorganisme untuk pengendalian hama secara biologis
1.Mikroorganisme (bakteri, virus, jamur), misalnya Bacillus thuringiensis, Granulosis virus, dll Diperbolehkan.

IV
Lain-lain
1. Karbondioksida dan gas nitrogen Diperbolehkan.
2. Sabun kalium (sabun lembut) -----
3. Etil alkohol Diperbolehkan.
4. Obat-obatan dari Homoeopathic dan Ayurvedic -----
5. Obat-obatan dari herbal dan biodinamik -----
6. Serangga jantan yang telah disterilisasi Diperbolehkan.

V.
Perangkap
1. Preparat pheromone dan atraktan nabati -----
2. Obat-obatan jenis metaldehyde yang berisi penangkal untuk spesies hewan besar dan sejauh dapat digunakan untuk perangkap Diperbolehkan.

Sumber: SNI 01-6729-2002 tentang Sistem Pangan Organik.
Catatan:
----- tidak diatur oleh negara manapun


Lampiran 3.
Bahan Aditif Makanan dan Penggunaannya yang Diijinkan
170 Kalsium karbonat -----
220 Sulfur dioksida Produk anggur
270 Asam laktat Produk sayuran yang difermentasi
290 Karbondioksida -----
296 Asam ,alat -----
300 Asam askorbat Bila tidak ada dalam bentuk alami
306 Tokoferol -----
322 Lecitin Didapat tanpa menggunakan bahan pemutin pelarut organik
330 Asam sitrat Produk sayuran dan buah-buahan
335 Natrium tartrat Kue-kue, permen
336 Kalium tartrat Sereal, permen, kue-kue
341 i Mono kalsium fosfat Hanya untuk raising flour
400 Alginic acid -----
401 Natrium alginate -----
402 Kalium alginate -----
406 Agar-agar -----
407 Carageenan -----
410 Gum locust bean-----
412 Gum guar-----
413 Gum tragacant-----
414 Gum Arab Susu, lemak dan produk permen
415 Gum xanthan Produk lemak, buah-buahan dan sayuran, kue-kue dan biskuit, salad.
416 Gum karaya -----

INS Nama Penggunaan
440 Pektin (asli/tidak dimodifikasi) -----
500 Natrium karbonat Kue-kue dan biskuit, permen
501 Kalium karbonat Sereal/kue-kue dan biskuit/permen
503 Amonium karbonat -----
504 Magnesium karbonat -----
508 Kalium klorida Sayuran, sayuran dan buah-buahan kaleng, vegetables sauces, ketchup dan mustard
509 Kalsium klorida Produk susu/lemak, sayuran dan buah-buahan, produk kedelai
511 Magnesium klorida Produk kedelai
512 Kalsium sulfat Cake dan biskuit, produk kedelai, baker yeast
524 Natrium hidroksida Produk sereal
938 Argon -----
941 Nitrogen -----
948 Oksigen -----
Sumber: SNI 01-6729-2002 tentang Sistem Pangan Organik.
Flavouring
Plavor yang dapat digunakan adalah bahan yang bahan-bahan dan produk-produk yang dilabel sebagai natural flavouring.
Air dan garam
Air yang dapat digunakan adalah air minum. Garam yang dapat digunakan adalah natrium klorida atau kalim klorida sebagai komponen dasar yang biasanya digunakan dalam pengolahan makanan.

Penyiapan mikroorganisme dan enzim
Semua penyiapan mikroorganisme dan enzim yang biasanya digunakan sebagai alat bantu dalam pengolahan pangan dapat digunakan, kecuali organisme hasil rekayasa/modifikasi nenetika (GE/GMO) dan enzim yang berasal dari organisme rekayasa genetika.
Mineral
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah vitamin, asam amino dan asam lemak esensial, dan senyawa nitrogen yang lain.

Lampiran 4.
Bahan Yang Diijinkan Digunakan Untuk Penyiapan Produk Pertanian

1.Air -----
2. Kalsium klorida Agen koagulasi
3. Kalsium karbonat -----
4. Kalsium hidroksida -----
5. Kalsium fosfat Agen koagulasi
6. Magnesium klorida (atau nigari) Agen koagulasi
7. Karbon dioksida -----
8. Nitrogen -----
9. Etanol Bahan pelarut
10. Asam tanat
Alat bantu filtrasi
11. Egg white albumin -----
12. Kasein -----
13. Isinglass -----
14. Silikon dioksida
Sebagai gel atau larutan koloid
15. Karbon aktif -----
16. Talk -----
17. Bentonite -----
18. Kaolin -----
19. Diatomaceaous earth -----
20. Perlite -----
21. Hazelnut shells -----
22. Beeswax -----
23. Camauba wax -----
24. Tartaric acid dan garam -----
25. Preparation of bark component -----
26. Asam sitrat

Penyesuaian pH
Sumber: SNI 01-6729-2002 tentang Sistem Pangan Organik.
Catatan:
----- tidak diatur oleh negara manapun

TEKNIK PENGUJIAN MUTU BERAS SKALA LABORATORIUM



Mutu beras sangat bergantung pada mutu gabah yang akan digiling dan sarana mekanis yang digunakan dalam penggilingan. Selain itu, mutu gabah juga dipengaruhi oleh genetik tanaman, cuaca, waktu pemanenan, dan penanganan pascapanen. Pemilihan beras merupakan ungkapan selera pribadi konsumen, ditentukan oleh faktor subjektif dan dipengaruhi oleh lokasi, suku bangsa atau etnis, lingkungan, pendidikan, status sosial ekonomi, jenis pekerjaan, dan tingkat pendapatan. Beras yang mempunyai cita rasa nasi yang enak mempunyai hubungan dengan selera dan preferensi konsumen serta akan menentukan harga beras. Secara tidak langsung, faktor mutu beras diklasifikasikan berdasarkan nama atau jenis (brand name) beras atau varietas padi. Respons konsumen terhadap beras bermutu sangat tinggi. Agar konsumen mendapatkan jaminan mutu beras yang ada di pasaran maka dalam perdagangan beras harus diterapkan sistem standardisasi mutu beras. Beras harus diuji mutunya sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) mutu beras giling pada laboratorium uji yang terakreditasi dan dibuktikan berdasarkan sertifikat hasil uji (Suismono
2002). SNI untuk beras giling bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya manipulasi mutu beras di pasaran, terutama karena pengoplosan atau pencampuran antarkualitas atau antarvarietas. Tujuan pengujian mutu beras adalah untuk melakukan pengukuran atau identifikasi secara kuantitatif terhadap karakter fisik beras dan menentukan klasifikasi mutu beras yang diinginkan pasar dan konsumen.

BAHAN DAN METODE
Pengujian dilakukan di Laboratorium Mutu Beras, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi pada bulan Mei 2010. Bahan utama yang digunakan adalah gabah varietas Ciherang. Varietas Ciherang mempunyai tekstur nasi pulen dengan kadar amilosa ± 23% dan bentuk gabah panjang ramping (Suprihatno et al. 2009). Sampel gabah diambil dari lima lokasi sentra produksi padi. Gabah diberi kode sesuai dengan lokasi pengambilan sampel, yakni kode A1 dan A2 untuk gabah yang berasal dari Kediri, kode B1 dan B2 untuk gabah yang berasal dari Surakarta, kode C1 dan C2 untuk gabah yang berasal dari Karawang, kode D1 dan D2 untuk gabah yang berasal dari Subang, dan kode E untuk gabah dari Bekasi. Jumlah gabah untuk masing-masing sampel sebanyak 2 kg dalam bentuk gabah kering giling. Sampel gabah kemudian dibagi dua, masing-masing 1 kg untuk pengujian dan 1 kg untuk arsip. Jenis pengujian mutu beras meliputi beras kepala, beras patah, butir menir, butir kapur, serta butir kuning dan rusak dengan penjelasan sebagai berikut:
  1. Beras kepala, yaitu butir beras sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran lebih besar atau sama dengan 75% bagian dari butir beras utuh.
  2. Beras patah, yaitu butir beras sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran lebih besar dari 25% sampai dengan lebih kecil 75% bagian dari butir beras utuh.
  3. Butir menir, yaitu butir beras sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran lebih kecil dari 25% bagian butir beras utuh.
  4. Butir kapur, yaitu butir beras yang separuh bagian atau lebih berwarna putih seperti kapur dan bertekstur lunak yang disebabkan faktor fisiologis.
  5. Butir kuning, yaitu butir beras utuh, beras kepala, beras patah, dan menir yang berwarna kuning atau kuning kecoklatan (BPTP Sumatera Selatan 2006).
Peralatan yang dipergunakan terdiri atas alat penampi atau pembersih gabah (aspirator) untuk memisahkan gabah isi dan gabah hampa (Gambar 1a), alat pemecah kulit gabah (rice husker) untuk memperoleh beras pecah kulit (BPK) (Gambar 1b), alat penyosoh (rice polisher) untuk menyosoh beras pecah kulit hingga diperoleh beras berwarna putih (Gambar 1c), ayakan menir (seive) ukuran 2,5 mm untuk memperoleh butir menir, dan alat pemisah ukuran beras (rice drum grader) untuk memisahkan beras kepala dan utuh dengan beras patah (Gambar 1d).

Urutan kerja pengujian mutu beras mengikuti alur seperti yang disajikan pada Gambar 2 dengan penjelasan sebagai berikut: 
  1.  Gabah 1.000 g diayak dan ditampi untuk membuang kotoran dan gabah hampa.
  2. Gabah yang telah bersih diambil 300 g lalu digiling dengan alat pemecah kulit untuk   menghasilkan beras pecah kulit.
  3. Beras pecah kulit disosoh selama 3 menit untuk memperoleh beras giling.
  4. Beras giling diambil 100 g kemudian diayak ± 20 putaran untuk memisahkan butir menir,  lalu ditimbang dan dihitung persentasenya.
  5. Beras giling yang telah bebas menir dimasukkan ke dalam alat pemisah ukuran beras dan diputar selama 3 menit untuk memisahkan beras kepala, beras utuh, dan beras patah atau pecah, kemudian ditimbang dan dihitung persentasenya.
  6. Dari masing-masing mutu beras (beras kepala, beras patah, dan menir) kemudian dipilih dan dipisahkan butir kapur dan butir kuning rusak.
  7. Data mutu beras yang diperoleh selanjutnya dibandingkan dengan persyaratan mutu SNI 6128: 2008
Tabel 1. Persyaratan mutu beras menurut SNI 6128: 2008
Komponen mutu                            Satuan       Mutu I     Mutu II    Mutu III     Mutu IV     Mutu V
Derajat sosoh (minimum)                 (%)          100          100           95              95             85
Kadar air (maksimum)                     (%)           14            14            14             14              15
Beras kepala (minimum)                  (%)            95           89             78             73             60
Butir patah (maksimum)                  (%)              5            10            20              25            35
Butir menir (maksimum)                  (%)              0              1              2               2              5
Butir merah (maksimum)                 (%)              0              1              2               3              3
Butir kuning rusak (maksimum)       (%)              0              1              2               3              5
Butir kapur (maksimum)                 (%)              0              1              2               3              5
Benda asing (maksimum)                (%)              0           0,02         0,02          0,05            0,20
Butir gabah (maksimum)                 (butir/100 g) 0              1               1           2                3
Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2008)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengujian mutu beras dari beberapa lokasi pengambilan sampel menunjukkan bahwa rendemen beras giling dari varietas Ciherang cenderung hampir sama. Namun setelah dipisahkan berdasarkan komponen mutu beras, terdapat variasi pada persentase beras kepala dan beras patah atau pecah, sedangkan butir menir, butir kapur, dan butir kuning rusak tidak terlalu bervariasi (Tabel 2). Rendemen beras giling dipengaruhi oleh varietas, karakteristik gabah, cara dan alat penggilingan, mutu beras yang hendak dicapai, teknik budi daya, dan agroekosistem pertanaman padi. Rendemen beras giling yang tinggi belum tentu diikuti oleh persentase beras kepala yang tinggi. Hasil penelitian justru menemukan hubungan yang berkebalikan dengan kedua kriteria mutu tersebut (Sutrisno et al. 2002). Variasi persentase beras kepala dan beras patah bisa disebabkan oleh lokasi pertanaman padi atau penanganan pascapanen yang berbeda. Persentase beras kepala pada sampel yang berasal dari Kediri paling tinggi dengan beras patah dan butir menir paling sedikit. Beras patah bisa terjadi jika pada saat digiling, gabah masih agak basah atau terlalu kering. Sisa patahan beras yang kecil membentuk butir menir. Beras patah juga dapat disebabkan oleh proses penyosohan. Batu sosoh yang baru dapat menghasilkan beras patah tinggi, sedangkan batu sosoh yang sudah aus menghasilkan
beras patah lebih sedikit. Berdasarkan hasil pengujian mutu beras, sampel yang berasal dari Kediri dengan kode A1 menghasilkan beras kepala 90,30% dan kode A2 sebesar 92,69% atau termasuk dalam kategori mutu II standar SNI. Sampel gabah yang berasal dari Surakarta dengan kode B1 menghasilkan beras kepala 87,54% dan kode B2 sebesar 85,77%. Sampel gabah dari Karawang dengan kode C1 memiliki beras kepala 80,36% dan untuk kode C2 sebesar 79,50% atau termasuk ke dalam Tabel 2. Data hasil pengujian mutu beras varietas Ciherang, Laboratorium Mutu Beras BB Padi, 2010