Mutu beras sangat bergantung pada mutu
gabah yang akan digiling dan sarana mekanis yang digunakan dalam penggilingan.
Selain itu, mutu gabah juga dipengaruhi oleh genetik tanaman, cuaca, waktu
pemanenan, dan penanganan pascapanen. Pemilihan beras merupakan ungkapan selera
pribadi konsumen, ditentukan oleh faktor subjektif dan dipengaruhi oleh lokasi,
suku bangsa atau etnis, lingkungan, pendidikan, status sosial ekonomi, jenis
pekerjaan, dan tingkat pendapatan. Beras yang mempunyai cita rasa nasi yang
enak mempunyai hubungan dengan selera dan preferensi konsumen serta akan
menentukan harga beras. Secara tidak langsung, faktor mutu beras
diklasifikasikan berdasarkan nama atau jenis (brand name) beras atau
varietas padi. Respons konsumen terhadap beras bermutu sangat tinggi. Agar
konsumen mendapatkan jaminan mutu beras yang ada di pasaran maka dalam
perdagangan beras harus diterapkan sistem standardisasi mutu beras. Beras harus
diuji mutunya sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) mutu beras giling
pada laboratorium uji yang terakreditasi dan dibuktikan berdasarkan sertifikat
hasil uji (Suismono
2002).
SNI untuk beras giling bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya manipulasi
mutu beras di pasaran, terutama karena pengoplosan atau pencampuran
antarkualitas atau antarvarietas. Tujuan pengujian mutu beras adalah untuk
melakukan pengukuran atau identifikasi secara kuantitatif terhadap karakter
fisik beras dan menentukan klasifikasi mutu beras yang diinginkan pasar dan
konsumen.
BAHAN
DAN METODE
Pengujian
dilakukan di Laboratorium Mutu Beras, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi,
Sukamandi pada bulan Mei 2010. Bahan utama yang digunakan adalah gabah varietas
Ciherang. Varietas Ciherang mempunyai tekstur nasi pulen dengan kadar amilosa ±
23% dan bentuk gabah panjang ramping (Suprihatno et al. 2009). Sampel
gabah diambil dari lima lokasi sentra produksi padi. Gabah diberi kode sesuai
dengan lokasi pengambilan sampel, yakni kode A1 dan A2 untuk gabah yang berasal
dari Kediri, kode B1 dan B2 untuk gabah yang berasal dari Surakarta, kode C1
dan C2 untuk gabah yang berasal dari Karawang, kode D1 dan D2 untuk gabah yang
berasal dari Subang, dan kode E untuk gabah dari Bekasi. Jumlah gabah untuk
masing-masing sampel sebanyak 2 kg dalam bentuk gabah kering giling. Sampel
gabah kemudian dibagi dua, masing-masing 1 kg untuk pengujian dan 1 kg untuk
arsip. Jenis pengujian mutu beras meliputi beras kepala, beras patah, butir
menir, butir kapur, serta butir kuning dan rusak dengan penjelasan sebagai
berikut:
- Beras kepala, yaitu butir beras sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran lebih besar atau sama dengan 75% bagian dari butir beras utuh.
- Beras patah, yaitu butir beras sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran lebih besar dari 25% sampai dengan lebih kecil 75% bagian dari butir beras utuh.
- Butir menir, yaitu butir beras sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran lebih kecil dari 25% bagian butir beras utuh.
- Butir kapur, yaitu butir beras yang separuh bagian atau lebih berwarna putih seperti kapur dan bertekstur lunak yang disebabkan faktor fisiologis.
- Butir kuning, yaitu butir beras utuh, beras kepala, beras patah, dan menir yang berwarna kuning atau kuning kecoklatan (BPTP Sumatera Selatan 2006).
Peralatan
yang dipergunakan terdiri atas alat penampi atau pembersih gabah (aspirator)
untuk memisahkan gabah isi dan gabah hampa (Gambar 1a), alat pemecah kulit
gabah (rice husker) untuk memperoleh beras pecah kulit (BPK) (Gambar
1b), alat penyosoh (rice polisher) untuk menyosoh beras pecah kulit
hingga diperoleh beras berwarna putih (Gambar 1c), ayakan menir (seive)
ukuran 2,5 mm untuk memperoleh butir menir, dan alat pemisah ukuran beras (rice
drum grader) untuk memisahkan beras kepala dan utuh dengan beras patah
(Gambar 1d).
Urutan
kerja pengujian mutu beras mengikuti alur seperti yang disajikan pada Gambar 2
dengan penjelasan sebagai berikut:
Komponen mutu Satuan Mutu I Mutu II Mutu III Mutu IV Mutu V
Derajat sosoh (minimum) (%) 100 100 95 95 85
Kadar air (maksimum) (%) 14 14 14 14 15
Beras kepala (minimum) (%) 95 89 78 73 60
Butir patah (maksimum) (%) 5 10 20 25 35
Butir menir (maksimum) (%) 0 1 2 2 5
Butir merah (maksimum) (%) 0 1 2 3 3
Butir kuning rusak (maksimum) (%) 0 1 2 3 5
Butir kapur (maksimum) (%) 0 1 2 3 5
Benda asing (maksimum) (%) 0 0,02 0,02 0,05 0,20
Butir gabah (maksimum) (butir/100 g) 0 1 1 2 3
Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2008)
- Gabah 1.000 g diayak dan ditampi untuk membuang kotoran dan gabah hampa.
- Gabah yang telah bersih diambil 300 g lalu digiling dengan alat pemecah kulit untuk menghasilkan beras pecah kulit.
- Beras pecah kulit disosoh selama 3 menit untuk memperoleh beras giling.
- Beras giling diambil 100 g kemudian diayak ± 20 putaran untuk memisahkan butir menir, lalu ditimbang dan dihitung persentasenya.
- Beras giling yang telah bebas menir dimasukkan ke dalam alat pemisah ukuran beras dan diputar selama 3 menit untuk memisahkan beras kepala, beras utuh, dan beras patah atau pecah, kemudian ditimbang dan dihitung persentasenya.
- Dari masing-masing mutu beras (beras kepala, beras patah, dan menir) kemudian dipilih dan dipisahkan butir kapur dan butir kuning rusak.
- Data mutu beras yang diperoleh selanjutnya dibandingkan dengan persyaratan mutu SNI 6128: 2008
Komponen mutu Satuan Mutu I Mutu II Mutu III Mutu IV Mutu V
Derajat sosoh (minimum) (%) 100 100 95 95 85
Kadar air (maksimum) (%) 14 14 14 14 15
Beras kepala (minimum) (%) 95 89 78 73 60
Butir patah (maksimum) (%) 5 10 20 25 35
Butir menir (maksimum) (%) 0 1 2 2 5
Butir merah (maksimum) (%) 0 1 2 3 3
Butir kuning rusak (maksimum) (%) 0 1 2 3 5
Butir kapur (maksimum) (%) 0 1 2 3 5
Benda asing (maksimum) (%) 0 0,02 0,02 0,05 0,20
Butir gabah (maksimum) (butir/100 g) 0 1 1 2 3
Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2008)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengujian mutu beras dari beberapa lokasi pengambilan sampel menunjukkan bahwa rendemen beras giling dari varietas Ciherang cenderung hampir sama. Namun setelah dipisahkan berdasarkan komponen mutu beras, terdapat variasi pada persentase beras kepala dan beras patah atau pecah, sedangkan butir menir, butir kapur, dan butir kuning rusak tidak terlalu bervariasi (Tabel 2). Rendemen beras giling dipengaruhi oleh varietas, karakteristik gabah, cara dan alat penggilingan, mutu beras yang hendak dicapai, teknik budi daya, dan agroekosistem pertanaman padi. Rendemen beras giling yang tinggi belum tentu diikuti oleh persentase beras kepala yang tinggi. Hasil penelitian justru menemukan hubungan yang berkebalikan dengan kedua kriteria mutu tersebut (Sutrisno et al. 2002). Variasi persentase beras kepala dan beras patah bisa disebabkan oleh lokasi pertanaman padi atau penanganan pascapanen yang berbeda. Persentase beras kepala pada sampel yang berasal dari Kediri paling tinggi dengan beras patah dan butir menir paling sedikit. Beras patah bisa terjadi jika pada saat digiling, gabah masih agak basah atau terlalu kering. Sisa patahan beras yang kecil membentuk butir menir. Beras patah juga dapat disebabkan oleh proses penyosohan. Batu sosoh yang baru dapat menghasilkan beras patah tinggi, sedangkan batu sosoh yang sudah aus menghasilkan
beras patah lebih sedikit. Berdasarkan hasil pengujian mutu beras, sampel yang berasal dari Kediri dengan kode A1 menghasilkan beras kepala 90,30% dan kode A2 sebesar 92,69% atau termasuk dalam kategori mutu II standar SNI. Sampel gabah yang berasal dari Surakarta dengan kode B1 menghasilkan beras kepala 87,54% dan kode B2 sebesar 85,77%. Sampel gabah dari Karawang dengan kode C1 memiliki beras kepala 80,36% dan untuk kode C2 sebesar 79,50% atau termasuk ke dalam Tabel 2. Data hasil pengujian mutu beras varietas Ciherang, Laboratorium Mutu Beras BB Padi, 2010
Hasil pengujian mutu beras dari beberapa lokasi pengambilan sampel menunjukkan bahwa rendemen beras giling dari varietas Ciherang cenderung hampir sama. Namun setelah dipisahkan berdasarkan komponen mutu beras, terdapat variasi pada persentase beras kepala dan beras patah atau pecah, sedangkan butir menir, butir kapur, dan butir kuning rusak tidak terlalu bervariasi (Tabel 2). Rendemen beras giling dipengaruhi oleh varietas, karakteristik gabah, cara dan alat penggilingan, mutu beras yang hendak dicapai, teknik budi daya, dan agroekosistem pertanaman padi. Rendemen beras giling yang tinggi belum tentu diikuti oleh persentase beras kepala yang tinggi. Hasil penelitian justru menemukan hubungan yang berkebalikan dengan kedua kriteria mutu tersebut (Sutrisno et al. 2002). Variasi persentase beras kepala dan beras patah bisa disebabkan oleh lokasi pertanaman padi atau penanganan pascapanen yang berbeda. Persentase beras kepala pada sampel yang berasal dari Kediri paling tinggi dengan beras patah dan butir menir paling sedikit. Beras patah bisa terjadi jika pada saat digiling, gabah masih agak basah atau terlalu kering. Sisa patahan beras yang kecil membentuk butir menir. Beras patah juga dapat disebabkan oleh proses penyosohan. Batu sosoh yang baru dapat menghasilkan beras patah tinggi, sedangkan batu sosoh yang sudah aus menghasilkan
beras patah lebih sedikit. Berdasarkan hasil pengujian mutu beras, sampel yang berasal dari Kediri dengan kode A1 menghasilkan beras kepala 90,30% dan kode A2 sebesar 92,69% atau termasuk dalam kategori mutu II standar SNI. Sampel gabah yang berasal dari Surakarta dengan kode B1 menghasilkan beras kepala 87,54% dan kode B2 sebesar 85,77%. Sampel gabah dari Karawang dengan kode C1 memiliki beras kepala 80,36% dan untuk kode C2 sebesar 79,50% atau termasuk ke dalam Tabel 2. Data hasil pengujian mutu beras varietas Ciherang, Laboratorium Mutu Beras BB Padi, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar